Beberapa waktu yang lalu penulis melakukan polling diantara anggota FoD “Lebih pilih mana Borneo merdeka atau Otonomi Khusus atau tidak nuntut apa-apa??” dari hasil polling sederhana ini ada sekitar 71 % menghendaki untuk Kalimantan Merdeka, 21 % menghendaki Otonomi Khusus, dan sisanya 8% tidak menghendaki apa-apa. Walaupun ini bukan polling yang representative terhadap semua penduduk asli Kalimantan, namun setidaknya penulis melihat suatu kegerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat ketidakpuasan atau kekecewaan Masyarakat Dayak terhadap Pemerintah Indonesia saat ini. Dan memang bukan rahasia lagi bahwa kegerakan desintegrasi ini tidak hanya terjadi di Kalimantan tetapi massive dibeberapa daerah yang juga merasakan ketimpangan pembangunan, seperti Papua, Aceh, Sumatra Utara. Bahkan sodara-sodara yang ada di Sabah dan Serawak merasakan ketimpangan perlakuan Pemerintahan Kerajaan Malaysia sehingga memunculkan suatu wacana mendirikan United States of Borneo.
Kalimantan merupakan pulau yang multi etnis, ada ratusan sub ethnik yang ada di Pulau ini dan kebanyakan memiliki bahasa, sejarah, budaya yang berbeda. Sebelum bergabung dengan NKRI & Malaysia, sebagian besar penduduk asli kalimantan belum muncul rasa nasionalisme kesukuannya atau disebut ethnic nationalism, kecuali sub suku yang sudah memiliki sistem kerajaan seperti Kutai, banjar, Paser, Tidung sehingga nasionalisme kesukuan mereka sudah lebih dahulu exist bahkan sebelum digunakan kata DAYAK untuk menyebut identitas penduduk asli Kalimantan saat ini, itulah terjadi internal conflict diantara sub suku seperti Kutai, Banjar, Tidung, Paser untuk menyebut dirinya Dayak. Secara Historis kata Dayak pada mulanya dipakai oleh para pedagang Melayu untuk menyebutkan suku-suku primitive yang kemudian istilah ini dipakai oleh Belanda. Kata Dayak pada mulanya adalah bentuk humiliation atau bentuk perendahanan dari ethnik yang memiliki “peradaban maju” terhadap penduduk asli yang masih dianggap “liar” itu sebab banyak istilah-istilah penyebutan penduduk asli Kalimantan pada masa lalu yang memiliki makna “urakan”, “setengah manusia”, “Primitive” dsb.
Akibat belum adanya rasa Ethno-Nasionalisme pada masa lalu maka umum terjadi sesama sub suku Dayak terjadi peperangan, perebutan kekuasaan dengan MENGAYAU atau memotong kepala, era itu dikenal dengan era ASANG KAYAU (Asang = memotong, Kayau = memenggal), kadang juga disebut era TETEK TATUM atau artinya era Ratap Tangis Sejati. Pada masa itu ada istilah 3 H, yaitu : HAPUNU = Saling Bunuh, HAKAYU = Saling Potong Kepala, & HAJIPEN = Saling memperbudak. Kampung yang kalah perang akan dijadikan budak bahkan diperlakukan sangat rendah. Rasa nasionalisme bangsa Dayak masa lalu selalu berkiblat pada kerajaan / kesultanan yang ada, sehingga tidak mengherankan banyak orang Dayak juga yang diperalat untuk menyerang kerajaan atau kampung lain, misal kisah penyerangan Tampun Juah (Kerajaan Iban) oleh kerajaan Sukadana dengan bantuan Pasukan Dayak Biaju, atau kisah kudeta Raden Rangga-Kasuma pada Kesultanan Banjar dengan menggunakan pasukan Dayak, bahkan hal ini juga dimanfaatkan oleh Pemerintahan Belanda untuk mengalahkan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme.
Tonggak sejarah mulai munculnya suatu rasa Ethno Nasionalisme bangsa Dayak adalah ketika Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, saat itu sudah ada identitas yang menyatukan puak suku-suku yang ada di Kalimantan dengan diterimanya istilah Dayak, sebagai suatu istilah awal yang berkonotasi negative menjadi suatu identitas yang mempersatukan semua bangsa Dayak, sampai pada era pergerakan kemerdekaan munculah organisasi seperti Sarekat Dayak yang kemudian berubah menjadi Pakat Dayak dan juga Partai Dayak. Munculnya organisasi pergerakan bangsa Dayak pada masa itu adalah akibat timbulnya kesadaran akan ketertinggalan orang-orang Dayak yang ingin maju dan bisa sejajar dengan suku-suku lain. Walaupun demikian pada masa itu rasa Ethno Nasionalisme yang berkembang masih pada suatu visi yang sama yaitu merdeka dari penjajahan Belanda dan bergabung pada gerakan kebangsaan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Sumpah Setia Pemuda Dayak untuk bergabung dengan NKRI pada tanggal 17 Desemebr 1946 di Gedung Agung Yogyakarta dan disaksikan oleh Presiden Soekarno.
DOMINASI EKONOMI DAN SOSIAL POLITIK PULAU JAWA
Walaupun Bangsa Dayak secara rela pada masa lalu ingin bergabung dengan NKRI tetapi ternyata selama 68 tahun Republik ini merdeka terutama pada era Orde Baru cita-cita yang hendak dibangun oleh the founding father yaitu “KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH BANGSA INDONESIA” ternyata hanya berkembang menjadi KEADILAN SOSIAL BAGI PULAU JAWA – pembangunan yang hanya berpusat pada Pulau Jawa dan dikurasnya kekayaan alam pulau lain tanpa ada perimbangan pembangunan membuat munculnya rasa “dianak tirikan”. Pemerintahan Indonesia menjadi lebih Ethnocentrism Jawa atau dikenal dengan istilah Jawanisasi yaitu di mana budaya Jawa mendominasi, menyerap, atau memengaruhi budaya lain secara umum. Kata “penjawaan” dapat berarti “untuk membuat menjadi Jawa dalam bentuk, idiom, gaya, atau sifat. Dominasi ini bisa terjadi dalam berbagai aspek, seperti budaya, bahasa, politik, dan sosial.
Gerakan ini juga dapat dilihat dari kebijakan Transmigrasi Pemerintah Pusat dimana pembangunan yang hanya berpusat di Pulau Jawa menyebakan program transmigarasi ke Pulau Lain hanya seolah-olah mengekspor penduduk miskin & bermasalah dari pulau Jawa ke Pulau lain untuk bisa maju dan sukses TANPA memperhatikan keadaan penduduk lokalnya silahkan lihat artikel MENGKRITISI PROGRAM TRANSMIGRASI, kalau orang sering mencibir penduduk lokal dalam kasus ini Orang Dayak “Tidak berjuang, pemalas, bodoh, dsb”. Orang Dayak bukanlah suku yang pemalas atau juga bodoh, orang Dayak punya daya juang untuk maju (Silahkan baca: Filosofi Dayak & Kerja Keras) tetapi kebijakan Pemerintah yang seolah-olah menganaktirikan penduduk dari pulau Kalimantan, tidak diberikannya kesempatan, tidak dibangunnya akses pendidikan yang memadai, menyebabkan semakin terpuruknya kualitasnya. Ini berbanding terbalik dengan Sumber Daya Alam yang dikuras oleh pusat demi mensejahterakan Pulau Jawa.
Bayangkan sampai saat ini banyak akses jalan yang susah tembus ke kampung-kampung dan pedalaman, bagaimana generasi mudanya mau mengenyam pendidikan?, bagaimana mau ada pergerakan ekonomi untuk menjual hasil buminya jika aksesibilitas itu ternyata tidak dianggap penting oleh pemerintah, butuh berhari-hari untuk bisa mencapai kota jiika harus melalu jalur sungai. Susahnya akses jalan membuat harga BBM sangat mahal, misal di Murung Raya harag sebelum BBM naik 15 ribu per liter itupun susah dicari, di Malinau 11 ribu/liter, di Krayan 22 ribu/liter bahkan pernah mencapai harga 60 ribu/liter, padahal minyak dan batu bara diambil dari pulau ini!!! Ini belum bicara akses kesehatan, pendidikan dsb. Kemudian para transmigran diberikan lahan untuk berusaha, sedangkan orang dayak sendiri susah dipersulit untuk mengurus ijin atas tanahnya sendiri, punyapun masih direbut paksa demi kepentingan kelapa sawit dan tambang, kalau tidak mau menyerahkan tanahnya malah dipidanakan di penjara.
Selain itu tidak diberinya kesempatan penduduk asli untuk menjadi pemimpin atas daerahnya sendiri. Bisa dicontoh di Kalimantan Timur sampai hari ini belum pernah ada satupun pernah dipimpin oleh orang Dayak, bukan karena tidak ada yang mampu tetapi secara struktural dipersulit – berkaca dari pengalaman pemilihan Gubernur yang lalu ketika ada calon Dayak yang maju begitu banyak faktor yang mempersulitnya, atau di Kalimantan Barat baru hanya dua kali dalam sejarahnya dipimpin oleh Orang Dayak, dan pada masa Orba orang-orang Dayak diperlakukan dengan tidak adil akibat gerakan PGRS/PARAKU. Selain masalah shared power, ketimpangan yang lain adalah pembangunan dasarnya, misal; akses jalan, listrik, pendidikan, kesehatan dll. Padahal sumber Daya Alamnya dikuras habis-habisan tetapi justru Pulau Kalimantanlah yang harus merasakan sukarnya mendapat listrik, BBM, akses jalan, dll. Sehingga kemajuan pembangunan dan kemandirian ekonomi sukar dicapai oleh penduduk aslinya. Dominasi secara eknomi dan politik dari egaliter Pulau Jawa dan tidak adanya Share Power merupakan salah satu penyebab munculnya gerakan desintegrasi ini.
PERUSAKAN ALAM KALIMANTAN OLEH KAUM KAPITALIS
Orang Dayak tidak bisa dipisahkan dari Hutan, sebab dalam budaya Dayak Hutan adalah representative dirinya , Orang Dayak tanpa hutan akan kehilangan identitasnya silahkan baca MITE PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DAYAK BUKIT. Peneliti keragaman hayati menyatakan pulau Kalimantan adalah hotspot keragaman hayati dunia. Tercatat paling tidak 222 jenis mamalia, 420 jenis burung, 136 jenis ular, 394 jenis ikan air tawar, dan lebih dari 3000 jenis pohon-pohonan. Namun pengerukan sumber Daya Alam baik itu akibat pertambangan, perkebunan sawit dan illegal logging menyebabkan makin menyusutnya hutan Kalimantan – dengan dalih percepatan pembangunan tanpa memperhatikan norma-norma serta kaidah-kaidah keseimbangan menurut data laju pengurangan tutupan hutan di empat propinsi di Kalimantan dari 600 ribu ha hingga 1,1 juta ha per tahun, dan tampaknya akan terus terjadi hingga hutan alami tak tersisa. Begitu pula dengan negara tetangga walaupun tidak besar tetapi terus terjadi, sebesar 0.64% per tahun dari luas hutan di Serawak dan begitu pula dengan Sabah, di Malaysia. Seperti halnya kawasan hutan tropis lainnya di dunia, di Kalimantan faktor utama dan pertama yang menyebabkan hutan tropis terus berkurang adalah pemerintah dengan kebijakannya memberikan ijin pembukaan lahan dengan berbagai peruntukan. Apa gunanya pembangunan bila kelestarian ekosistem hancur?? apa artinya pembangunan bila pada akhirnya para kaum pribumi juga terpinggirkan??, hak-hak mereka terampas oleh kerakusan para pengusaha para kapitalis???. Silahkan saksikan video ini – ‘Banking while Borneo burns’
Bagi warga yang tidak mau melepaskan tanahnya bagi kaum Kapitalis direbut paksa demi kepentingan kelapa sawit dan tambang, kalau tidak mau menyerahkan tanahnya malah dipidanakan di penjara. Ini salah satu contoh dari ribuan kasus yang terjadi:
Adalah Burhan, warga Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), tanah dan kebun karet dirampas perusahaan sawit. Kala protes, diapun harus menghadapi penjara 1,5 tahun. Nasib sama dialami Wardian. Warga Seruyan ini harus menjalani 1,5 bulan penjara karena tak terima kala tanah dan kebun durian terbabat sawit semena-mena. Nasib miris, juga dialami Langkai TN, dari Desa Kanyala, mendekam di penjara 1,6 tahun didakwa melakukan perbuatan tak menyenangkan. Padahal, dia protes lahan dan kebun karet diklaim perusahaan sawit Mereka menjadi terpidana gara-gara berusaha mempertahankan wilayah hidup
ADANYA GERAKAN ANTI PANCASILA DAN PLURALISME
Seharusnya pemerintah Indonesia cukup berbangga dengan Bangsa Dayak yang masih konsisten menyanjung ideologi PANCASILA, namun semenjak era reformasi menyebabkan tumbuh suburnya faham-faham garis keras dan dipertontonkan secara terang-terangan tanpa ada tindakan tegas oleh pemerintah terhadap kelompok yang mengancam keberagaman dan pluralisme. Misal banyak kasus penutupan / penyegelan gereja, ancaman perusakan patung naga di singkawang, FPI, dsb.
Orang Dayak secara kulturnya sangat menghargai keberagaman dan ini tercermin dari budaya falsafah rumah betangnya walaupun berbeda keyakinan namun tetap hidup secara komunal dan saling menghargai. Gerakan-gerakan anti pancasila ini beberapa kali pernah di usir di Palangkaraya misal ketika FPI hendak masuk ke Palangkaraya (Silahkan baca: FPI), Gerakan Mahasiswa Pembebasan yang secara terang-terangan dan terbuka menentang Pancasila, Sumpah Pemuda, untungnya segera mendapat reaksi keras dari Masyarakat Dayak di Palangkaraya. Jika faham ini makin subur maka ada rasa insecure, tidak sefaham lagi sehingga akan membuat rasa desintegrasi ini akan semakin menguat.
Selain di Indonesia ternyata setali tiga uang denga hal dihadapi oleh masyarakat Dayak yang ada di Serawak dan Sabah. Dimana pemerintahan Malaysia lebih memperhatikan penduduk melayunya. Definisi melayu selain berbudaya melayu atau keturunan melayu juga adalah orang-orang yang sudah memeluk agama islam, sehingga majority penduduk asli Sabah & Serawak sering kali merasakan ketidakadilan – karena tidak masuk didalam salah stau definisi itu. Baru-baru ini kasus pelarangan penggunaan kata Allah dalam alkitab bahasa Melayu – yang memang lebih pada muatan egaliter politik melayu di Malaysia, juga merupakan salah satu faktor yang membuat munculnya rasa ingin memisahkan diri ini juga di Sabah & Serawak.
ADANYA UPAYA PENGHAPUSAN SEJARAH DAYAK DIKALIMANTAN
Di dalam buku “Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry”. karangan penulis Swedia, Juri Lina tahun 2004 disebutkan ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri :
- Kaburkan sejarahnya
- Hancurkan bukti2 sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya
- Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Dan hal ini yang sedang terjadi dengan Masyarakat Dayak, image didalam buku-buku pelajaran sejarah seolah-olah orang Dayak tidak memiliki sumbangsih apapun atas kemerdekaan – bahkan pernah ada statement dalam sebuah diskusi yang penulis baca bahwa orang Dayak pada masa lalu hanya tau berburu, minum tuak dan menombak babi. Padahal begitu banyak sumbangsih pejuang Dayak atas pembentukan republik ini namun begitu minimnya apresiasi pemerintah atas perjuangan ini. Hal ini pun diperparah dengan upaya beberapa kelompok tertentu yang menggiring suatu opini bahwa orang Dayak hanyalah suku pendatang di Pulau Kalimantan, sehingga pulau Kalimantan hanyalah pulau tujuan para pendatang. Tuduhan ini pernah diungkapkan oleh seorang Pandam Mulawarman – yaitu Pangdam Dicky, suatu tuduhan yang tak memiliki dasar histori – silahkan baca artikel : Menjawab Tuduhan Suku Dayak Adalah Pendatang Di Kalimantan, sehingga semua orang berhak atas pulau Kalimantan tanpa memperhatikan hak-hak penduduk aslinya.
Berikut salah satu contoh komentar negative yang terjadi di Serawak (note: comment ini hanyalah komentar pribadi seseorang namum ini menunjukan adanya kelompok / orang yang mencoba menghapus sejarah dan peran Dayak didalam kebangsaan dalam kasus ini di Serawak – Malaysia, namun juga ada terjadi di Indonesia)
Sehingga seperti pandangan salah satu anggota FoD:
“Kita diciptakan oleh Tuhan dialam Kalimantan yang sangat berkelimpahan dengan sumber Daya alam, tidak salah jika kelimpahan ini perlu dibagi bagi kepada saudara-saudara kita yang diciptakan oleh Tuhan di pulau lain yang memang kurang akan sumberdaya alamya, bahkan kelimpahan inipun harus dijual kepada bangsa lain yang berada di belahan bumi lain. Ya..kita setuju saja…lalu…mengapa saat ini kita mulai bersikap resistent terhadap saudara-saudara kita yang datang dari pulau lain dan mulai mengkotakkan diri? Jawabnya : Karena keserakahan mereka, setelah semuanya boleh dilakukan atas nama NKRI maka semua sendi kehidupan ingin dikuasai dan yang paling mengerikan adalah usaha menciptakan teori baru tentang siapa kita dulu oleh penjahah kita digambarkan sebagai manusia primitif, kemudian oleh sesama kita, kita disebut pula sebagai orang kafir, sekarang malah akan diperkuat lagi bahwa kita ini adalah pendatang dari negeri Cina sehingga akhirnya hanya merekalah yang beradab, ber-Tuhan dan kita hanyalah pendatang”
Sebenarnya hal ini sudah jauh hari diramalkan oleh JAMES BROOKE kepada masyarakat suku Dayak yang ditulis dalam bukunya “The White Rajah of Sarawak”, yang terbit tahun 1915 sebelum kemerdekaan Indonesia.yang berbunyi:
“Akan tiba saatnya ketika aku sudah tidak disini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan untuk merampas apa yang sesungguhnya hak mu yakni tanah dimana kamu tinggal, seumber penghasilanmu dan bahkan makanan yang ada dimulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan manjadi para tuan dan pemilik. Sedangkan kalian hai anak-anak negri ini (Dayak) akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”
Beberapa gerakan juga sedang digagas oleh beberapa elemen Masyarakat Dayak, yaitu wacana penggantian nama Pulau Kalimantan menjadi Pulau Dayak – dengan tujuan agara mempertahankan eksistensi Masyarakat Dayak sebagai bumiputera asli Kalimantan di negara ini. Memang perjuangan ini belum sepenuhnya diterima secara massive tetapi lobi-lobi sudah dilakukan – walaupun ini bukan bentuk gerakan separatisme tetapi ini menujukan bahwa Masyarakat Dayak sudah cukup muak dengan perlakuan PEMPUS yang secara struktural menggagahi hak-hak Masyarakat Dayak.
KESIMPULAN
Kata kuncinya adalah ketimpangan antara pusat dan daerah dan mulai menjauhnya arah pembangunan kita dari cita-cita awal republik ini, yaang termaktub didalam konstutusi kita. Rasa Ethno Nasionalisme yang awalnya tetap berada pada bingkai NKRI saat ini sudah berkembang menjadi gerakan secession. Bagaimanakah tanggapan pemerintah RI, nampaknya pemerintah lebih siap dengan pendekatan repressive ketimbang mencoba memperbaiki apa yang harusnya diperbaiki, seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu penangkapan seorang yang dianggap anggota separatis di Kab. Paser seperti direlease dalam web TNI (baca: ini), dan juga kesiapan kontak militer dalam latihan di Sangatta (Baca: Kompas).
Lalu sampai dimanakan gerakan ini di Kalimantan? saat ini penulis melihat baru mencapai pada tahapan ideologi dan kegerakan ini pun dialami oleh bangsa Dayak yang ada di Serawak dan Sabah, sehingga memunculkan rasa senasib sepenanggungan yang menghasilkan Rasa Ethno Nasionalisme Bangsa Dayak Raya. Dalam analisa pribadiku yang akan menentukan berkembang atau tidaknya gerakan ini nanti adalah Pemilu 2014 yang akan datang, jika pemimpin yang terpilih masih memakai politik egaliter & feodalisme pulau jawa semata, tidak adanya ketegasan pemerintah baik atas kasus korupsi, perusakan alam, ketimpangan pembangunan, maka bukan tidak mungkin gerakan yang awalnya hanya wacana akan diterima secara massive oleh Masyarakat Dayak dan menjadi perjuangan terbuka. Maka mau dibawakah Kalimantan? apakah masyarakat Dayak akan melakukan self determination-nya?
Tabe
16/maret/2014
Post a Comment